“Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu
ambil menjadi kepercayaanmu (pemimpin) orang-orang yang diluar kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudhoratan bagimu. Mereka
menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan
apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah
kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami, jika kamu memahaminya.” (Q.S. Ali-Imran
3:118).
Masalah kepemimpinan
seperti Ulil Amri, presiden atau pemimpin-pemimpin yang lainya adalah salah
satu tema, di antara banyak temayang disebut di dalam Al-Quran. Hal ini
menunjukan bahwa Al-Quran atau agama Islam tidak hanya berurusan dengan masalah
kepercayaan dan ritual belaka. Akan tetapi, Islam adalah agama yang universal,
Islam berurusan dengan aqidah, ibadah, akhlaq, serta berbagai macam urusan duniawi
(muamalah), yang meliputi ideologi, politik, sosial, ekonomi, peradaban maupun
kebudayaan. Universalitas Islam telah di tetapkan oleh Allah SWT dalam
firmanya: “Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
tuhanlah mereka menghimpunkan”, (Q.S. Al-An’am 6:38).
Hakikat Kekuasaan Menurut Al-Qur’an
Jabatan
atau kekuasaan adalah amanah Allah SWT, yang harus di pertanggung jawabkan,
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Di dunia, para pemangku kekuasaan dan
jabatan haruslah mempertanggung jawabkan jabatan dan kekuasaanya di hadapan
syariat Allah atau hukum yang diciptakan oleh manusia. Sedangkan di akhirat,
para pemangku jabatan dan kekuasaan harus mempertanggung jawabkanya di hadapan
Allah SWT. Dari sudt pandang teologis, nasib menjadi pejabat atau penguasa
hanyalah karena di beri amanah oleh Allah (lihat Q.S. Ali-Imran 3:26). Oleh
karena itu, pemimpin akan dimintai pertanggung jawabanya oleh Allah,
sebagaimana sabda Nabi SAW: “Kamu semuanya adalah pemimpin, kamu semuanya akan
dimintai pertanggung jawabanatas kepemimpinanmu...”. (HR. Bukhari, Muslim,Abu
Dawud dan Ahmad)
Siapakah Ulil Amri Yang Ideal? Pemimpin
yang ideal dan Islami untuk umat Islam, yang mungkin dia adalah seorang
presiden,gubernur,anggota DPR,ketua RT, tau kepala rumah tangga sekalipun,
hendaknya memiliki kepribadian sebagai berikut: Pertama: Mereka harus muslim yang bertauhid dan bertaqwa. Mereka
bukan orang musyrik, tahayul atau khurafat, karena pemimpin seperti ini akan
membawa kepada kesesatan. Dan Allah SWT telah memperingatkan dalam firmanya:
“...Dan janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di
antara mereka”. (Q.S. Al-Insaan 76:24). Juga firmanya: “Dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah kami lalikan dari mengigati kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaanya melewti batas”. (Q.S. Al-Kahfi
18:28). Kedua, Pemimpin bagi kaum
muslimin, idealnya mereka bukan termaksud orang yang dzalim, fasik, suka
maksiat atau suka meninggalkan shalat wajib, tidak mau berzakat dan tidak
berpuasa Ramadhan, tetapi mereka taat pada Allah SWT (muttaqin). Ketiga, Memilih pemimpin haruslah orang
yang memiliki kecerdasan secara intektual dan sehat jasmani serta rohaninya.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka
menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan
pemerintahan dari padanya, sedang dia tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”
Nabi (mereka) berkata: “sesungguhnya Allah telah memilihnya sebagai rajamu dan
menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberi kekuasaan
kepada siapa yang dikehendakinya. Dan
Allah maha luas pemberian-Nya lagi maha mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah 2:247). Keempat, jika memilih pemimpin,
hendahnya orang yang bersifat amanah dan
memiliki pengetahuan membaca perkembangan zaman ke depan. Sebagaimana Nabi
Yusuf as yang diceritakan Allah SWT dalam Al-Qur’an: “ berkata Yusuf:
“Jadikanlah aku bendaharawan (Mesir), sesunggunya aku adalah orang yang pandai
menjaga (Amanah), lagi berpengetahuan”. (Q.S. Yusuf 12:55). Kelima, pemimpin haruslah berasal dari
lingkungan keluarga dan lingkuang sosial yang baik. Oleh karena itu, pengaruh
keluarga dan lingkungan sosial terhadap aktor politik adalah sangat kuat.
Seorang aktor politik sering terjerumus ke dalam KKNZ (korupsi, kolusi,
nepotisme, dan zina), kerena kebanyakan anggota keluarganya atau lingkungan
sosialnya terdiri dari orang-orang yang tidak baik. Keenam, Idealnya, pemimpin harus memiliki Akhlaqul Karimah, yang
menekankan pentingnya kejujuran, keihlasan dan kesederhanaan, sehingga ia dapat
menghindari godaan duniawi, yang berupa kekuasaan materi. Di samping itu, tidak
suka berhutang budi kepada orang lain.
Pemimpin Yang Kita Harapkan
Allah
SWT berfirman: “Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukanya mereka di muka
bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
makruf dan mencegah kepada yang munkar”. (Q.S. Al-Hajj 22:41). Secara implisit,
dari ayat tersebut dapat dimengerti, ada beberapa tugas atau kewajiban yang
diamanatkan kepada para pemimpin negara yaitu: 1. Membimbing rakyatnya dalam
menumbuh suburkan kehidupan beragama. Kehidupan agama yang tumbuh subur
ditandai dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas ibadah mahdhah maupun
ibadah sosial. Dan karena kehidupan kita berada pada kemajemukan umat beragama,
yang wajib atas para pemimpin adalah menjaga kerukunan ummat beragama dan
kerukunan dalam arti luas secara Islam. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad
SAW hidup bersama masyarakatnya yang majemuk. Beliau hidup bersama ummatnya ,
berdampingan dengan kaum yahudi dan nasrani. Beliau merasa berkewajiban membina
kerukunan meraka. Oleh karena itu, beliau menetapkan piagam Madinah (Shahifah
Madinah), sebagai konstitusi yang di patuhi bersama, dalam rangka membina
kerukunan di antara mereka. 2. Meratakan kemakmuran di dalam masyarakat adalah
salah satu diantara kewajiban pemimpin, sehingga tidak ada lagi kemakmuran yang
terkonsentrasi pada kelompok masyarakat. Terkonsentrasinya kemakmuran pada
sekelompok masyarakat, adalah salah satu peenyebab utama kemiskinan sistemik
dalam masyarakat. Al-quran telah menyinggungterkonsentrasinya kemakmuran yang
mengakibatkan kemiskinan sistemik tersebut. Firma-Nya: “Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang dierikan Allah kepada Rasulnya (dari harta benda) yang erasal dari penduduk kota-kota, maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta kekayaan itu tidak hanya
terkonsentrasi pada orang-orang kaya
diantara kamu, maka terimalah. Apa yang diberikan Rasul kepadamu , maka
terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah
kepada Allah”. (Q.S. Al-Hasyr 59:7). Secara Islami, meminimalisasi
terkonsentrasinya kemakmuran pada orang-orang kaya, antara lain ditempuh dengan
membebankan zakat wajib atas orang-orang berharta, yang memiliki harta, dan
hartanya telah mencapai nisab zakat. Di samping itu, ditempuh dengan mengharamkan
riba. Jadi, kewajiban pemimpin kita adalah meratakan kemamuran secara benar dan
halal. 3. Tugas dan kewajiban pemimpin, yang paling berat dan besar adalah amar
ma’ruf nahi munkar. Tugas dan kewajiban itu meliputi seluruh kewajiban dakwah.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah identik dengan kewajiban dakwah, yaitu seluruh
kegiatan menyiarkan atau mengaktualisasikan kebajikan dalam rangka mencapai
ridho Allah. Sebagaimana yang di perintahkan Allah melalui firmanya: “Dan
hendaklah diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf (setiap perbuatan yang di ridhai Allah) dan
mencegah dari yang munkar (setiap perbuatan yang tidak di ridhai Allah)
merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Al-Imran 3:104) 4. Tugas dan kewajiban
para pemimpin adalah menciptakan dan melaksanakan kehidupan bernegara,
bermasyarakat dan berekonomi yang demokratis. Bagi Islam, demokrasi adalah
bagian dari nilai nilai syura, yaiut sistem politik yang di dasari oleh paham
kesederajatan atau egaliterisme. Syura dalam ekonomi adalah, ekonomi yang
berdasarkan ekonomi kerakyatan dan ekonomi yang menekankan kepentingan
pemerataan, yang di iringi dengan meminimalisasi ekonomi yang
terkonsentrasi pada kelompok yang
berharta. Islam menolak jiga demokrasi diidentikasikan dengan kesakralan atau
kemaha sucian-suara rakyat (vox populi pox thei), karena yang maha suci dan
maha sakral hanyalah Allah SWT.
Firmanya: “Dialah Allah yang tiada tuhan selain dia, raja, yang maha suci,
yang maha sejahtera, yang mengaruniakan keamanan, yang maha memelihara, yang
maha perkasa, yang maha kuasa, yang memilii segala keagungan, maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan”. (Q.S. Al-Hasyr 59:23).
Semoga Allah SWT mengangkat
pemimpin yang bertaqwa, adil, cerdas, serta amanah, untuk kita semua. Sehingga
negeri yang kita cintai ini menjadi negeri: “Baldatun thayyibatun wa Rabbun
Ghafuur, negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo”. Aaminn.
Komentar