Pengertian
Dakwah
Kata Dakwah merupakan
masdar (kata benda) dari kata kerja Da’a, Yad’u yang berarti panggilan, seruan
atau ajakan. Pada prinsipnya, dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru,
mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai
syariat Islam.
Dakwah Bil Lisan
Dakwah Bil Lisan
adalah metode dakwah yang dilakukan oleh seorang da’I dengan mengunakan lisanya
pada saat aktivitas dakwah melalui bicara yang biasanya dilakukan dengan
ceramah, pidato, khutbah, dlsb. Pada tahap kebudayaan manusia kegiatan membaca
dan menulis belum ada. Maka dari itu, dakwah dilakukan dengan metode dakwah bil
lisan.
Dalam Al-Qur’an Surah Al-Nahl (16): 125 termuat beberapa
metode dakwah sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Tiga metode dakwah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu :
metode al-hikmah, metode al-maw’izhah dan metode mujadalah:
Kata al-hikmah terulang sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an.
Secara etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau
pikiran, ilmu, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga
berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah juga diartikan al-Ilah, seperti dalam
kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma hikmah zalika dan diartikan juga al-kalam
atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Makna al-hikmah yang tersebar dalam al-Qur’an di 20 tempat
tersebut, secara ringkas, mengandung tiga pengertian. Pertama, al-hikmah dalam
arti “penelitian terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan
menggunakan akal dan penalaran”. Kedua, al-hikmah yang bermakna “memahami
rahasia-rahasia hukum dan maksud-maksudnya”. Ketiga, al-hikmah yang berarti
“kenabian atau nubuwwah”.
Adapun kata al-hikmah dalam ayat ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ menurut al-Maraghi (w.
1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat
memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan. Sedang Muhammad Abduh (w.
1905) mengartikan al-hikmah sebagai ilmu yang sahih yang mampu membangkitkan
kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat dan kemampuan
mengetahui rahasia dan faedah setiap sesuatu.
Sementara itu Sayyid Qutb berpendapat yang dimaksud dengan
hikmah adalah Melihat situasi dan kondisi obyek dakwah. Memperhatikan kadar
materi dakwah yang disampaikan kepada mereka, sehingga mereka tidak merasa
terbebani terhadap perintah agama (materi dakwah) tersebut, karena belum siap
mental untuk menerimanya. Memperhatikan metode penyampaian dakwah dengan
bermacam-macam metode yang mampu menggugah perasaan, tidak memancing kemarahan,
penolakan, kecemburuan dan terkesan berlebih-lebihan, sehingga tidak mengandung
hikmah di dalamnya.
Dalam pendapat Hamka, kata hikmah itu kadang-kadang
diartikan oleh beberapa orang sebagai filsafat. Menurutnya, hikmah adalah inti
yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang
yang telah terlatih pikiran dan logikanya, tetapi hikmah dapat dipahami oleh
orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang
lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja ucapan, melainkan juga tindakan dan
sikap hidup. Kadang-kadang ‘diam’ lebih berhikmat daripada ‘berbicara’.
Dengan demikan, ungkapan bi al-hikmah ini berlaku bagi
seluruh manusia sesuai dengan perkembangan akal, pikiran dan budayanya, yang
dapat diterima oleh orang yang berpikir sederhana serta dapat menjangkau orang
yang lebih tinggi pengetahuannya. Sebab, yang dipanggil adalah pikiran,
perasaan dan kemauan. Dengan begitu, dipahami bahwa al-hikmah berarti
meletakkan sesuatu pada tempatnya dan pada tujuan yang dikehendaki dengan cara
yang mudah dan bijaksana.
2. al-Maw’izah al-hasanah
Metode dakwah kedua yang terkandung dalam QS. Al-Nahl (16)
ayat 125 adalah metode al-maw’izat al-hasanah. Maw’izat dari kata وعظ yang berarti nasehat. Juga berarti
menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan
memberi wasiat agar taat. Kata maw’izat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9
kali. Kata ini berarti nasehat yang memiliki ciri khusus, karena mengandung
al-haq (kebenaran), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq serta mengandung
nilai-nilai keuniversalan. Kata al-hasanah lawan dari sayyi’ah, maka dapat
dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa keburukan.
Metode dakwah berbentuk nasehat ini ditemukan dalam
al-Qur’an dengan memakai kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan
manusia kepada ide-ide yang dikehendakinya, seperti nasehat Luqman al-Hakim
kepada anaknya. Tetapi, nasehat al-Qur’an itu menurut Quraish Shihab, tidak
banyak manfaatnya jika tidak dibarengi dengan teladan dari penasehat itu
sendiri. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. yang patut dijadikan panutan, karena
pada diri beliau telah terkumpul segala macam keistimewaan sehingga orang-orang
yang mendengar ajarannya dan sekaligus melihat penjelmaan ajaran itu pada diri
beliau sehingga akhirnya terdorong untuk meyakini ajaran itu dan mencontoh
pelaksanaannya.
Maw’izah disifati dengan hasanah (yang baik), menurut
Quraish, karena nasehat itu ada yang baik dan ada yang buruk. Nasehat dikatakan
buruk dapat disebabkan karena isinya memang buruk, di samping itu, ia juga
dipandang buruk manakala disampaikan oleh orang yang tidak dapat diteladani.
Al-maw’izah al-hasanah adalah sesuatu yang dapat masuk ke
dalam kalbu dengan penuh kelembutan, tidak berupa larangan terhadap sesuatu
yang tidak harus dilarang; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan.
Sebab, kelemahlembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang
keras dan menjinakkan kalbu yang liar. Seorang da’i selain memberi nasehat
kepada orang lain, juga kepada diri dan keluarga sendiri, bahkan harus lebih
dahulu menasehati diri dan keluarganya, baru orang lain. Nasehat itu harus pula
dibarengi dengan contoh kongkrit dengan maksud untuk ditiru oleh umat yang
dinasehati, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. seperti
pelaksanaan shalat dan sebagainya. Selain itu, dipahami pula bahwa dakwah yang
disampaikan itu tidak hanya teori, tetapi juga praktek nyata yang dilakukan
oleh da’i itu sendiri.
3. al-Mujàdalah
Al-Mujàdalah terambil dari kata جدل, yang bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadal (diskusi) terulang
sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya di beberapa tempat dalam al-Qur’an.
Dari
kata-kata itu, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek, yaitu:
membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau ahli
kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah dalam
berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu.
Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan
wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah
ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik)
menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan
yang buruk.
Al-Maraghi mengartikan kalimat ‘wa jadilhum bi allatiy hiya
ahsan’ dengan berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Sedangkan
Sayyid Qutb mengartikannya dengan: berdialog dan berdiskusi bukan untuk mencari
kemenangan, akan tetapi agar patuh dan tunduk terhadap agama untuk mencapai
kebenaran.
Diskusi atau perdebatan tidak boleh dilakukan dengan sikap emosional. Sebab, hal itu tidak akan mendekatkan orang kepada Islam, bahkan bisa terjadi sebaliknya. Karena itu, dalam QS. Al-Ankabut (29):46 dijelaskan tentang cara menghadapi orang yang tidak mau menerima kebenaran. Di dalam ayat ini, diberikan tuntunan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan pengikutnya, bahwa jika terpaksa bertukar pikiran (berdebat atau berdiskusi) dengan Ahl al-Kitab, adakanlah dengan cara yang paling baik, yaitu dengan pertimbangan akal yang murni. Jika terjadi perbedaan pendapat, seorang da’i tidak boleh emosional.
Diskusi atau perdebatan tidak boleh dilakukan dengan sikap emosional. Sebab, hal itu tidak akan mendekatkan orang kepada Islam, bahkan bisa terjadi sebaliknya. Karena itu, dalam QS. Al-Ankabut (29):46 dijelaskan tentang cara menghadapi orang yang tidak mau menerima kebenaran. Di dalam ayat ini, diberikan tuntunan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan pengikutnya, bahwa jika terpaksa bertukar pikiran (berdebat atau berdiskusi) dengan Ahl al-Kitab, adakanlah dengan cara yang paling baik, yaitu dengan pertimbangan akal yang murni. Jika terjadi perbedaan pendapat, seorang da’i tidak boleh emosional.
Sayyid Qutb memberikan penjelasan tentang metode dakwah
ini; dakwah dengan al-mujàdalah bi allatiy hiya ahsan ialah dakwah yang tidak
mengandung unsur pertikaian, kelicikan dan kejelekan, sehingga mendatangkan
ketenangan dan kelegaan bagi juru dakwah.Tujuan perdebatan bukanlah mencapai
kemenangan, tetapi penerimaan dan penyampaian kepada kebenaran. Jiwa manusia
itu mengandung unsur keangkuhan, dan itu tidak dapat ditundukkan dengan
pandangan yang saling menolak, kecuali dengan cara yang halus sehingga tidak
ada yang merasa kalah. Dalam diri manusia bercampur antara pendapat dan harga
diri, maka jangan ada maksud untuk tidak mengakui pendapat, kehebatan dan
kehormatan mereka. Perdebatan yang baik adalah perdebatan yang dapat meredam
keangkuhan ini; dan pihak yang berdebat merasa bahwa harga diri dan kehormatan
mereka tidak tersinggung. Sesungguhnya juru dakwah tidaklah bermaksud lain,
kecuali mengungkapkan inti kebenaran dan menunjukkan jalan ke arah itu, yakni
di jalan Allah, bukan di jalan kemenangan suatu pendapat dan kekalahan pendapat
yang lain.
Dalam melaksanakan dakwah dengan model diskusi ini, seorang
da’i, selain harus menguasai ajaran Islam dengan baik juga harus mampu menahan
diri dari sikap emosional dalam mengemukakan argumennya. Dia tidak boleh
menyinggung perasaan dan keyakinan orang lain, sebab akan merugikan da’i,
sehingga usaha dakwah dapat mengalami kegagalan. Yang paling baik ialah bahwa
seorang da’i harus mampu bersikap lemah lembut dan menghargai pendapat orang
lain diskusi sehingga tercipta suasana yang kondusif di medan diskusi.
Implementasi Dakwah Bil Lisan
Kesimpulan:
Hendaknya
ketika kita melakukan Dakwah menggunakan lisan maupun dengan menggunakan teks
gunakanlah bahasa/penyampaian yang mudah di pahami oleh jamaah/audies agar
dakwah yang kita sampaikan berkesan dan bermakna bagi jamaah.
Referensi:
Komentar